Selasa, 06 Maret 2012

Rokok


Merokok memiliki dampak negatif yang besar karena itu perlu dijauhi; bagi yang belum merokok agar menghindarkannya, yang sudah merokok wajib pula berupaya untuk berhenti.  “Karena dampak negatifnya, maka pembelanjaan uang untuk merokok adalah perbuatan mubazir,”
Akan tetapi meskipun tidak merokok, kita masih terancam oleh dampak ketika berada dalam lingkungan asap dari para perokok atau sebagai perokok pasif.  Sangatlah tidak adil jika para perokok pasif mendapatkan penyakit yang tidak lebih baik dari para perokok aktif
yaitu rentan terhadap kanker, penyakit jantung, paru-paru, dan penyakit lainnya yang mematikan.  Berdasarkan penelitian di AS, orang yang dikelilingi oleh asap rokok lebih cepat meninggal dibandingkan dengan yang senantiasa menikmati udara bersih.  Angka kematian mereka juga lebih tinggi 15 persen.  Asap rokok mengandung sekitar 4.000 macam bahan kimia yang 60 diantaranya dapat menimbulkan kanker.   Di AS, pemerintah memperkirakan 3000 kematian perokok pasif akibat kanker setiap tahunnya dan secara global kebiasaan merokok akan menjadi salah satu penyebab kematian terbesar.  Menjelang tahun 2030, diperkirakan sekitar 10 juta orang akan meninggal setiap tahunnya akibat rokok yang 70 persennya adalah penduduk negara-negara berkembang.Keadaan di Indonesia tidak pula kalah menakutkan.  Menurut data Depkes tahun 2004, 70 persen dari penduduk Indonesia adalah perokok yang 60 persennya dalah masyarakat ekonomi lemah.  Dr Hanny Ronosulistyo, SpOG(K), MM, Kadiskes Provinsi Jawa Barat, memberikan data yang jauh lebih lunak; jumlah perokok secara nasional 23,7 persen dari jumlah penduduk.  Pada umumnya mereka lakukan di dalam rumah atau ruangan tempat umum bersama anggota keluarga dan orang lain.  Di Jawa Barat misalnya, 81,5 persen perokok melakukannya sedemikian sehingga menimbulkan dampak negatif pada anggota rumah tangga lain.  Tidak heran jika kelompok anak berusia 11-14 tahun yang mulai merokok pertama kali setiap harinya sebesar 11,9 persen.
Data Indonesia Tobacco Control Network (ITCN) tahun 2007 yang dikutip Prof Dr Veni Hadju, PhD, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar, menunjukkan pula bahwa 80 persen perokok ternyata berusia di bawah 19 tahun.  Proporsi perokok pemula itu terus membesar sementara kelompok  adik-adik mereka usia 5-9 tahun pada tahun 2004 sudah mencapai 1,8 persen.  Fenomena lain yang mengejutkan adalah prevalensi merokok masyarakat miskin yang lebih tinggi dari masyarakat kaya.
Depkes dan WHO mengungkapkan pula berdasarkan riset tahun 2001, proporsi pengeluaran rata-rata untuk membeli rokok adalah 9,1 persen pada rumah tangga berpenghasilan rendah dan 7,47 persen pada yang berpenghasilan tinggi dengan jumlah konsumsi rokok per hari secara berturut-turut adalah 10 batang dan 12,5 batang.  Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok itu memburuk pada tahun 2004 yang menurut  ITCN masing-masingnya  11 dan 9,7 persen.  Perlindungan masyarakat terhadap dampak tembakau ini berprioritas rendah dalam program kesehatan karena kepentingan politik berdalih ekonomi.
Belum adanya UU yang mengatur hal ini, menurut Prof Veni, dimanfaatkan oleh industri tembakau untuk memperluas pasar karena secara bebas dapat mengiklankan produk mereka dengan segala cara dan menggunakan berbagai jalur.   Tarif cukai di Indonesia juga terendah di Asia setelah Kamboja.   Semua ini mengakibatkan anak-anak, remaja, dan masyarakat miskin mudah membeli rokok, termasuk secara batangan .  Sementara peringatan tentang bahaya merokok bagi kesehatan yang tertera di bungkusnya dijadikan hiasan saja, ironisnya para produsen rokok diposisikan sebagai penyelamat bangsa dari kemiskinan dan kebodohan.
Keadaan tersebut tidak mengherankan karena hal itu melibatkan kepentingan rupiah yang jumlahnya luar biasa.  Secara sederhana saja kita dapat melihat bahwa kebiasaan merokok membazirkan nilai uang yang luar biasa karena jumlah perokok di Indonesia sangat banyak.  Seorang perokok yang biasa-biasa saja bisa mengisap 10 batang per hari yang kita anggap nilainya Rp 5.000 atau dia akan “membakar” uangnya Rp 1,8 juta per tahun atau Rp 1,8 milyar per tahun per 1000 orang.
Sebagai contoh, jika penduduk Pekanbaru sekitar 800.000 jiwa dan anggap saja hanya 20 persen yang merokok maka perkiraan angka-angka yang berkaitan dengan kebiasaan buruk (baca: haram) itu adalah: jika kita sedang berlima, minimal ada satu orang perokok di sekitar kita (biasanya lebih daru satu orang kan?) atau jumlah total perokok di Pekanbaru 160.000 orang  yang kurang lebih 128.000  orang berusia 19 tahun ke bawah atau anak-anak kita.  Per tahunnya jumlah rokok yang dikonsumsi  hampir 6 juta batang dengan nilai uang yang dibakar Rp 288 milyar lebih.  Meski kita tidak dapat menghitung perkiraaannya, namun berdasarkan data di tempat lain dapat kita pastikan bahwa akibat kebiasaan merokok maka ongkos kesehatan dan korban meninggal cukup signifikan.  Menurut data Depkes tahun 2001, kerugian masyarakat seluruh Indonesia akibat rokok mencapai Rp 54,1 triliun.
Keadaan yang sangat konyol ini tentu tidak boleh kita biarkan berketerusan.  Untuk menekannya perlu peran aktif seluruh komponen bangsa, terutama para pengambil kebijakan.  Pembatasan tempat merokok harus diperluas dan para perokok didorong untuk berhenti; yang belum jangan sampai memulai, apalagi pemula di bawah usia 19 tahun.  Atau kita memang mau membunuh masa depan generasi penerus kita?
(referensi: berbagai artikel hasil searching di internet).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar