Merokok
memiliki dampak negatif yang besar karena itu perlu dijauhi; bagi yang belum
merokok agar menghindarkannya, yang sudah merokok wajib pula berupaya untuk
berhenti. “Karena dampak negatifnya, maka pembelanjaan uang untuk merokok
adalah perbuatan mubazir,”
Akan
tetapi meskipun tidak merokok, kita masih terancam oleh dampak ketika berada
dalam lingkungan asap dari para perokok atau sebagai perokok pasif.
Sangatlah tidak adil jika para perokok pasif mendapatkan penyakit yang tidak
lebih baik dari para perokok aktif
yaitu rentan terhadap kanker, penyakit
jantung, paru-paru, dan penyakit lainnya yang mematikan. Berdasarkan
penelitian di AS, orang yang dikelilingi oleh asap rokok lebih cepat meninggal
dibandingkan dengan yang senantiasa menikmati udara bersih. Angka
kematian mereka juga lebih tinggi 15 persen. Asap rokok mengandung
sekitar 4.000 macam bahan kimia yang 60 diantaranya dapat menimbulkan
kanker. Di AS, pemerintah memperkirakan 3000 kematian perokok pasif
akibat kanker setiap tahunnya dan secara global kebiasaan merokok akan menjadi
salah satu penyebab kematian terbesar. Menjelang tahun 2030, diperkirakan
sekitar 10 juta orang akan meninggal setiap tahunnya akibat rokok yang 70
persennya adalah penduduk negara-negara berkembang.Keadaan di Indonesia tidak
pula kalah menakutkan. Menurut data Depkes tahun 2004, 70 persen dari penduduk
Indonesia adalah perokok yang 60 persennya dalah masyarakat ekonomi
lemah. Dr Hanny Ronosulistyo, SpOG(K), MM, Kadiskes Provinsi Jawa Barat,
memberikan data yang jauh lebih lunak; jumlah perokok secara nasional 23,7
persen dari jumlah penduduk. Pada umumnya mereka lakukan di dalam rumah
atau ruangan tempat umum bersama anggota keluarga dan orang lain. Di Jawa
Barat misalnya, 81,5 persen perokok melakukannya sedemikian sehingga
menimbulkan dampak negatif pada anggota rumah tangga lain. Tidak heran
jika kelompok anak berusia 11-14 tahun yang mulai merokok pertama kali setiap
harinya sebesar 11,9 persen.
Data
Indonesia Tobacco Control Network (ITCN) tahun 2007 yang dikutip Prof Dr
Veni Hadju, PhD, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin,
Makassar, menunjukkan pula bahwa 80 persen perokok ternyata berusia di bawah 19
tahun. Proporsi perokok pemula itu terus membesar sementara
kelompok adik-adik mereka usia 5-9 tahun pada tahun 2004 sudah mencapai
1,8 persen. Fenomena lain yang mengejutkan adalah prevalensi merokok
masyarakat miskin yang lebih tinggi dari masyarakat kaya.
Depkes
dan WHO mengungkapkan pula berdasarkan riset tahun 2001, proporsi pengeluaran
rata-rata untuk membeli rokok adalah 9,1 persen pada rumah tangga
berpenghasilan rendah dan 7,47 persen pada yang berpenghasilan tinggi dengan
jumlah konsumsi rokok per hari secara berturut-turut adalah 10 batang dan 12,5
batang. Proporsi pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok itu
memburuk pada tahun 2004 yang menurut ITCN masing-masingnya 11 dan
9,7 persen. Perlindungan masyarakat terhadap dampak tembakau ini
berprioritas rendah dalam program kesehatan karena kepentingan politik berdalih
ekonomi.
Belum
adanya UU yang mengatur hal ini, menurut Prof Veni, dimanfaatkan oleh industri
tembakau untuk memperluas pasar karena secara bebas dapat mengiklankan produk
mereka dengan segala cara dan menggunakan berbagai jalur. Tarif
cukai di Indonesia juga terendah di Asia setelah Kamboja. Semua ini
mengakibatkan anak-anak, remaja, dan masyarakat miskin mudah membeli rokok,
termasuk secara batangan . Sementara peringatan tentang bahaya merokok
bagi kesehatan yang tertera di bungkusnya dijadikan hiasan saja, ironisnya para
produsen rokok diposisikan sebagai penyelamat bangsa dari kemiskinan dan
kebodohan.
Keadaan
tersebut tidak mengherankan karena hal itu melibatkan kepentingan rupiah yang
jumlahnya luar biasa. Secara sederhana saja kita dapat melihat bahwa
kebiasaan merokok membazirkan nilai uang yang luar biasa karena jumlah perokok
di Indonesia sangat banyak. Seorang perokok yang biasa-biasa saja bisa
mengisap 10 batang per hari yang kita anggap nilainya Rp 5.000 atau dia akan
“membakar” uangnya Rp 1,8 juta per tahun atau Rp 1,8 milyar per tahun per 1000
orang.
Sebagai
contoh, jika penduduk Pekanbaru sekitar 800.000 jiwa dan anggap saja hanya 20
persen yang merokok maka perkiraan angka-angka yang berkaitan dengan kebiasaan
buruk (baca: haram) itu adalah: jika kita sedang berlima, minimal ada satu
orang perokok di sekitar kita (biasanya lebih daru satu orang kan?) atau jumlah
total perokok di Pekanbaru 160.000 orang yang kurang lebih 128.000
orang berusia 19 tahun ke bawah atau anak-anak kita. Per tahunnya jumlah
rokok yang dikonsumsi hampir 6 juta batang dengan nilai uang yang dibakar
Rp 288 milyar lebih. Meski kita tidak dapat menghitung perkiraaannya,
namun berdasarkan data di tempat lain dapat kita pastikan bahwa akibat
kebiasaan merokok maka ongkos kesehatan dan korban meninggal cukup
signifikan. Menurut data Depkes tahun 2001, kerugian masyarakat seluruh
Indonesia akibat rokok mencapai Rp 54,1 triliun.
Keadaan
yang sangat konyol ini tentu tidak boleh kita biarkan berketerusan. Untuk
menekannya perlu peran aktif seluruh komponen bangsa, terutama para pengambil
kebijakan. Pembatasan tempat merokok harus diperluas dan para perokok
didorong untuk berhenti; yang belum jangan sampai memulai, apalagi pemula di
bawah usia 19 tahun. Atau kita memang mau membunuh masa depan generasi
penerus kita?
(referensi:
berbagai artikel hasil searching di internet).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar